Jatim Times Network Logo
Poling Pilkada 2024 Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Poling Pilkada 2024
Pendidikan

Hukum Salat Terlewat karena Efek Samping Obat Menurut Fikih Islam

Penulis : Anggara Sudiongko - Editor : Dede Nana

16 - Dec - 2025, 11:23

Placeholder
Ilustrasi umat yang terlewat salatnya karena efek samping obat (ist)

JATIMTIMES - Efek obat kadang tak kenal kompromi. Tubuh yang sedang sakit dipaksa beristirahat, kelopak mata berat, lalu tidur datang tanpa permisi. Masalah muncul ketika seseorang terbangun dan sadar satu hal penting telah terlewat: waktu salat fardhu sudah berlalu. 

Di titik ini, kegelisahan sering menyeruak, apakah tidur karena obat termasuk kelalaian yang berdosa, dan apakah salat yang terlewat itu masih harus diganti?

Baca Juga : Dari Berpikir Kritis Sampai Peran Mahasiswa Komunikasi untuk Masa Depan, Main Event CIA bersama Bijak Memantau

Dalam pandangan fikih, kondisi ini dipahami secara jernih dan berlapis. Orang yang tertidur akibat efek samping obat, sehingga tidak sadar hingga waktu salat habis, tidak diposisikan sebagai pelaku kelalaian yang disengaja. Namun, kewajiban salatnya tidak gugur. Ketika ia terbangun dan kembali sadar, ia tetap berkewajiban menunaikan salat yang terlewat tersebut sebagai qadha.

Dasar hukum mengenai hal ini dijelaskan dalam Fiqh Ibadah karya Prof. Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Prof. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. Salah satu rujukan utamanya adalah hadis yang diriwayatkan Abu Qatadah RA, yang menceritakan peristiwa tertidur hingga melewati waktu salat. Rasulullah SAW menegaskan bahwa tidur bukanlah bentuk kelalaian yang disengaja. 

Kelalaian justru terjadi ketika seseorang sadar namun mengabaikan kewajiban. Karena itu, siapa pun yang lupa atau tertidur hingga melewati waktu salat, diperintahkan untuk segera melaksanakannya ketika ia ingat atau terbangun. Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, dan Ahmad.

Penguatan makna serupa juga datang dari riwayat Anas RA. Rasulullah SAW bersabda bahwa siapa saja yang tertidur atau lupa hingga meninggalkan salat, hendaknya ia menunaikannya begitu ingat. Dalam hadis tersebut, Nabi mengaitkannya dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an, “Dirikanlah salat untuk mengingat-Ku” sebagaimana termaktub dalam Surah Thaha ayat 14. Pesannya tegas namun menenangkan: kewajiban salat tidak hilang, tetapi pintu penggantiannya tetap terbuka.

Para ulama mazhab kemudian merinci lebih jauh tentang kondisi hilangnya kesadaran. Dalam kitab Fiqih Islam wa Adillatuhu Jilid 1 karya Wahbah Az-Zuhaili dijelaskan bahwa mayoritas imam mazhab, selain Hambali, berpendapat kewajiban salat gugur bagi orang yang benar-benar kehilangan akal, seperti orang gila atau pingsan total. Pengecualiannya, jika ia sadar kembali sementara waktu salat masih tersisa. Meski demikian, mazhab Syafi’i memandang qadha salat bagi orang yang hilang kesadaran akibat gila atau pingsan sebagai amalan yang dianjurkan.

Mazhab Hambali mengambil sikap lebih ketat. Menurut pandangan ini, seseorang yang kehilangan kesadaran karena sakit, pingsan, atau dampak obat yang dibenarkan secara medis, tetap diwajibkan mengganti salat yang terlewat ketika ia sadar. Tidur karena obat diposisikan serupa dengan tidur biasa: tidak berdosa, tetapi tetap menanggung kewajiban qadha.

Baca Juga : Pelaku Curanmor di Kota Malang Berhasil Diamankan, Motor Korban Ditemukan Utuh

Karena itu, orang yang tertidur dan melewati waktu salat tetap wajib mengganti salatnya. Bahkan, jika memungkinkan, ia juga dianjurkan untuk diingatkan ketika waktu salat hampir berakhir. Ketentuan ini bersandar pada hadis yang menyatakan, “Barang siapa tertidur hingga meninggalkan salat atau lupa melaksanakannya, maka hendaklah ia mengerjakan salat itu ketika ia ingat. 

Tidak ada tebusan baginya selain melaksanakan salat tersebut.” Hadis ini menjadi landasan kuat bahwa qadha salat fardhu wajib dilakukan, baik keterlambatan itu terjadi karena lupa, tidur, maupun sebab lain yang tidak disengaja, meskipun jarak waktunya sudah cukup lama.

Dalam praktiknya, qadha salat dilaksanakan dengan niat yang menegaskan bahwa salat tersebut dilakukan sebagai pengganti. Untuk salat Subuh yang terlewat, niatnya adalah mengerjakan salat fardhu Subuh dua rakaat menghadap kiblat sebagai qadha karena Allah Ta’ala. Untuk Dzuhur, niatnya mengerjakan salat fardhu empat rakaat menghadap kiblat sebagai qadha karena Allah Ta’ala. Niat serupa berlaku untuk Ashar dengan empat rakaat, Maghrib dengan tiga rakaat, serta Isya dengan empat rakaat, semuanya disertai kesadaran bahwa salat tersebut dilakukan sebagai qadha lillahi ta’ala.

Intinya, Islam tidak mempersulit orang yang sedang sakit. Tidur akibat obat bukanlah dosa, tetapi tanggung jawab ibadah tetap menyusul begitu kesadaran kembali. Agama ini realistis, tidak menekan, namun juga tidak membiarkan kewajiban berlalu begitu saja. Bangun, bersuci semampunya, lalu dirikan salat. Sesederhana itu. Karena dalam ibadah, yang utama bukan kesempurnaan kondisi, melainkan kesungguhan untuk kembali menghadap.


Topik

Pendidikan hukum salat fiqih islam obat



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Magetan Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Anggara Sudiongko

Editor

Dede Nana

Pendidikan

Artikel terkait di Pendidikan