Jatim Times Network Logo
Poling Pilkada 2024 Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Poling Pilkada 2024
Ruang Sastra

Kang, Mak, dan Haul: Warisan Budaya Champa yang Dibawa Sunan Ampel

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Nurlayla Ratri

07 - Jun - 2025, 11:36

Placeholder
Ilustrasi Sunan Ampel (kanan) tengah berbincang dengan murid sekaligus menantunya, Raden Patah, di halaman Masjid Demak abad ke-15. (Foto: AI oleh JatimTIMES)

JATIMTIMES - Dalam sejarah Islamisasi Nusantara, nama Sunan Ampel adalah pilar awal dari kebangkitan dakwah Islam di Jawa yang penuh perenungan, negosiasi budaya, dan penyesuaian sosial yang sangat tajam. Figur yang dikenal luas sebagai salah satu tokoh sentral Wali Songo ini tidak hanya dikenang karena pengaruh keagamaannya, tetapi juga karena kepiawaiannya dalam meramu nilai-nilai baru ke dalam struktur masyarakat yang masih berakar pada Hindu-Buddha. Salah satu fondasi utama dari pendekatan dakwahnya adalah warisan budaya dan keagamaan yang dibawanya dari tanah leluhur: Kerajaan Islam Champa di kawasan Indochina.

Champa dan Raden Rahmat

Baca Juga : Gelar Tradisi Pencak Sumping Banyuwangi, Kades Tamansuruh Ingin Wujudkan Desa Pendekar

Nama asli Sunan Ampel adalah Raden Rahmat, dan banyak tradisi historiografi, baik melalui babad, hikayat, maupun catatan kolonia Prancis seperti "Kerajaan Champa" terbitan EFEO (1981), menyebut bahwa ia berasal dari negeri Champa. Negeri ini merupakan sebuah kerajaan tua di wilayah pesisir Vietnam tengah dan selatan yang pada abad ke-14 dan 15 mengalami islamisasi secara pesat melalui jalur perdagangan dan interaksi dengan dunia Islam di kawasan Timur Tengah dan India.

Islam yang berkembang di Champa adalah Islam yang sarat akan dimensi sufistik dan Syiah, terutama pengaruh Syiah Zaidiyah. Hal ini dikemukakan oleh S.Q. Fatimy dalam karyanya Islam Comes to Malaysia (1963). Dengan latar belakang inilah, ketika Raden Rahmat datang ke tanah Jawa, ia tidak datang dengan tangan kosong, melainkan membawa seperangkat nilai dan praksis keagamaan yang telah diadaptasi dengan konteks lokal Champa. Dialah yang kemudian mengembangkan model dakwah khas yang menyatukan nilai-nilai universal Islam dengan tradisi lokal Jawa.

Warisan Ritual: Haul, Talqin, dan Kenduri

Jejak paling kasat mata dari dakwah Sunan Ampel yang sarat Champa terlihat dalam struktur ritual kematian di kalangan masyarakat Islam pesisir Jawa. Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Majapahit mengenal ritual Hindu-Buddha yang disebut sroddha, yakni upacara besar untuk meruwat arwah yang digelar 12 tahun pasca-kematian seseorang. Tradisi ini kemudian bertransformasi secara sistemik melalui pengaruh Islam Champa menjadi peringatan pada hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, dan ke-1000—suatu model yang sangat sesuai dengan struktur sosial Jawa dan masih lestari hingga kini. Warisan inilah yang menjadi fondasi awal ketika Raden Rahmat—Sunan Ampel—datang ke Jawa. 

Tradisi kenduri dan haul juga berasal dari tradisi Syiah Champa. Di Persia, kata "kandur" merujuk pada jamuan untuk memperingati Nabi dan keluarganya. Istilah ini diadopsi menjadi "kenduri" di Jawa dan diubah dalam konteks keislaman yang inklusif, menjadikannya bagian dari sistem sosial yang kuat. Hal ini dikuatkan oleh penelitian Agus Sunyoto dalam karyanya Atlas Wali Songo, yang menyebut bahwa haul, talqin, dan kenduri adalah manifestasi dari tradisi Zaidiyah. Acara makan bersama ini tidak hanya menyatukan keluarga tetapi juga warga dalam bingkai syukur dan doa.

Bubur Syuro pada Muharram ke-10 menyimbolkan solidaritas atas tragedi Karbala. Tradisi ini, yang masih kuat di Tuban, Lamongan, Gresik dan sekitarnya, bukan hanya ritual makan, tetapi refleksi spiritual dan moral.

Tradisi semacam haul, talqin, dan kenduri jelas bukan produk sinkretisme dengan Hindu-Buddha lokal, melainkan impor langsung tradisi Islam Champa yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat Jawa. Menurut penulis, ini merupakan strategi dakwah yang halus: mengambil pola lama, lalu menyemai nilai baru. Talqin—yakni pembacaan syahadat di telinga jenazah—juga menjadi praktik harian masyarakat Islam tradisional Jawa, mengikuti metode Champa yang menempatkan doa sebagai penutup dalam ritual spiritual kematian.

Tradisi Sosial: Mak, Kang, dan Adhy

Pengaruh Champa tak berhenti pada ranah keagamaan, tapi merembes hingga ke struktur bahasa dan sebutan sosial. Masyarakat Jawa kini lazim menyebut ibunya dengan istilah "mak"—sebutan yang berasal dari kebiasaan orang Champa. Sebelumnya, masyarakat Majapahit menyebut ibu sebagai "ina" atau "ibu". Begitu pula dengan penyebutan kakak yang kini akrab dengan "kang", sedangkan sebelumnya dikenal sebagai "raka". Untuk adik, masyarakat Champa memakai "adhy" dan untuk anak kecil mereka mengenal istilah "kachoa" atau "kachong". Kata-kata ini menyebar seiring menyebarnya jaringan dakwah para murid, kerabat, dan keturunan Sunan Ampel di seluruh pantai utara Jawa. Penyebaran istilah ini tidak hanya terbatas di Surabaya, tetapi menjangkau Madura, Jombang, dan Jawa Barat, melalui murid dan kerabat Sunan Ampel seperti Sunan Bonang, Dinasti Giri, dan Sunan Kalijaga

Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat, Raden Patah, Sunan Kalijaga, hingga Sunan Gunung Jati, semuanya merupakan penerus langsung maupun tidak langsung dari Sunan Ampel. Mereka menyebarluaskan tidak hanya ajaran Islam, tapi juga formasi sosial baru yang bertolak dari kebudayaan Champa. Surabaya, Mojokerto, Jombang, dan Kediri menjadi kawasan yang merepresentasikan akulturasi tersebut secara nyata dalam cara masyarakatnya menyapa dan berinteraksi.

Adaptasi linguistik ini menunjukkan metode Sunan Ampel: meresapi budaya lokal, kemudian memasukkan tradisi baru secara menyeluruh, menjadikannya struktur sosial setempat. Sebutan akrab seperti “mak” bukan sekadar kebiasaan, tetapi bukti integrasi budaya lintas bangsa.

Kepercayaan dan Takhayul

Tidak hanya ranah sosial, tetapi juga kepercayaan terhadap dunia tak kasat mata turut berubah. Masyarakat Majapahit mengenal makhluk-makhluk mitologis seperti yaksha, gandharwa, pisaca, hingga pretasura. Setelah interaksi dengan Islam Champa, kepercayaan ini mengalami pergeseran bentuk menjadi apa yang kita kenal sekarang sebagai kuntilanak, pocong, wewe, dan berbagai nama lokal lain.

Orang Champa membawa konsep geqwan-tuhuan—makhluk-makhluk halus dalam pemahaman Islam tradisional, seperti jin Islam, penunggu pohon, dan arwah penasaran. Kepercayaan terhadap hitungan suara tokek, larangan menyebut harimau secara langsung, tabu memanen padi di siang hari, dan lain-lain, adalah produk sinkretisme antara kepercayaan lokal Jawa dengan warisan takhayul Champa yang diserap melalui kanal sufisme.

Dakwah Inklusif ala Sunan Ampel

Islam yang disebarkan oleh Sunan Ampel dan murid-muridnya bukanlah Islam tekstual yang kaku, melainkan Islam sufistik yang adaptif dan komunikatif. Ia menggunakan metode dakwah yang disebut formulasi kreatif, mengintegrasikan adat dan tradisi pra-Islam ke dalam semangat ajaran Islam. Dalam hal ini, pendekatan dakwah Sunan Ampel sangat mirip dengan metode tahrir dan tathwir dalam dakwah modern: membebaskan masyarakat dari belenggu lama dan mengembangkan sistem baru yang sesuai dengan semangat zaman.

Perayaan Maulid Nabi, Nisfu Sya'ban, Rebo Wekasan, 1 dan 10 Suro dengan simbolisasi Bubur Asyura, semua merupakan bagian dari sistem baru ini. Pembacaan kasidah, pujian terhadap ahlul bait, bahkan pemujaan terhadap sosok Ali bin Abi Thalib secara spiritual dalam bentuk syiiran dan wirid, mencerminkan keberlanjutan tradisi Zaidiyah yang telah membaur dan menemukan tempat dalam Islam Nusantara.

Akhir Hidup dan Warisan Abadi

Sekalipun Sunan Ampel dihormati sebagai sesepuh Wali Songo, catatan tentang tahun wafatnya tidak seragam. Babad ing Gresik mencatat wafatnya dengan candrasengkala "Ngulama Ngampel lena masjid", yang bila diterjemahkan bermakna: ulama Ampel wafat di masjid. Candra ini mengandung angka tahun 1401 Saka atau 1479 Masehi. Ia dimakamkan di kawasan Ampel Denta, dan hingga kini menjadi tujuan ziarah religius yang penting.

Warisan yang ditinggalkan Sunan Ampel bukan sekadar jejak ajaran, melainkan struktur budaya baru. Melalui tradisi-tradisi seperti haul, kenduri, dan talqin; melalui kebiasaan menyebut mak, kang, dan adhy; hingga melalui cara masyarakat merespons hal-hal supranatural, semuanya menunjukkan bahwa Islam di Jawa adalah buah dari kompromi panjang, dan di antaranya, pengaruh Champa-lah yang paling kuat mengakar.

Baca Juga : Slametan Brokohan Bung Karno, Wali Kota Mas Ibin Ajak Warga Blitar Teladani Sang Proklamator

Sunan Ampel tidak sekadar menyebarkan agama. Ia membentuk peradaban baru. Dalam sejarah Islam Jawa, ia adalah arsitek dari sintesis besar antara tradisi lama dan semangat baru. Tradisi keagamaan Islam Champa yang dibawanya menjadi fondasi spiritual yang menyatukan keindonesiaan dalam bingkai keislaman yang ramah budaya.

Warisan seperti haul, kenduri, dan sebutan mak atau kang bukanlah sekadar produk lokal, melainkan bukti dari perjalanan sejarah panjang yang mempertemukan budaya lintas Asia dalam satu tarikan napas dakwah yang menyeluruh. Dan dari semua itu, Champa adalah akar yang dalam dan Sunan Ampel adalah cabangnya yang paling kokoh.

Sunan Ampel: Pengarsitek Islamisasi Jawa dari Jalur Pesantren, Perkawinan, dan Politik Istana

Dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara, nama Sunan Ampel bukan sekadar dikenang sebagai wali penyebar agama, tetapi sebagai pengarsitek perubahan sosial dan spiritual yang strategis. Terlahir sebagai Raden Rahmat, ia adalah putra dari Syaikh Ibrahim As-Samarkandi, ulama dari Asia Tengah, dan Dewi Candrawulan, putri bangsawan dari Kerajaan Islam Champa. Latar belakang itu menjadikan Raden Rahmat sebagai sosok yang membawa dua warisan besar: jaringan keilmuan Islam internasional dan darah aristokrasi Asia Tenggara.

Diperkirakan datang ke Jawa pada awal dasawarsa 1430-an, Raden Rahmat tidak sendirian. Ia datang bersama saudaranya, Ali Musada (alias Ali Murtadho), dan sepupu mereka, Abu Hurairah (Raden Burereh). Sebelumnya, menurut catatan Thomas W. Arnold dalam The Preaching of Islam (1977), rombongan ini sempat singgah di Palembang. Mereka diterima oleh Arya Damar, penguasa lokal yang telah mulai tertarik pada Islam. Dalam hikayat yang dikaji J. Edel (1938), disebutkan bahwa setelah memeluk Islam, Arya Damar mengambil nama Ario Abdillah.

Kepastian bahwa rombongan Raden Rahmat telah berada di Jawa sebelum 1446 diperkuat oleh keruntuhan Kerajaan Champa di tangan Vietnam (Koci) pada tahun tersebut. Dalam Serat Walisana bahkan disebut bahwa Raja Majapahit melarang Raden Rahmat kembali ke Champa karena wilayah itu telah hancur akibat perang.

Rombongan dakwah itu pertama kali mendarat di Tuban—salah satu pelabuhan utama Majapahit. Dari sana, Raden Rahmat melanjutkan perjalanan ke pusat kerajaan untuk bertemu bibinya, Ratu Dwarawati, istri Prabu Kertawijaya (Brawijaya V). Koneksi keluarga ini membuka jalan baginya untuk memahami struktur budaya Jawa dari dalam lingkar istana. Strategi ini kelak menjadi kunci keberhasilan dakwah yang tidak konfrontatif, melainkan meresap lewat jaringan sosial dan politik.

Sebelum bermukim di Ampel, Raden Rahmat mendapat penugasan resmi sebagai imam Masjid Surabaya oleh Arya Sena, pejabat Pecat Tandha dari Terung. Dalam versi lain, seperti tertulis dalam Babad Ngampeldenta, tokoh yang menempatkannya di Surabaya adalah Arya Lembusura, Adipati Surabaya yang sudah memeluk Islam. Sementara saudaranya, Ali Murtadho, ditempatkan di Gresik sebagai Raja Pendita Agung.

Di kawasan Ampeldenta, Raden Rahmat membangun lembaga pendidikan Islam yang menjadi cikal bakal sistem pesantren di Jawa. Di sinilah murid-murid utama dididik: Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Raden Patah, hingga Raden Kusen. Mereka adalah murid sekaligus kader politik dan spiritual yang kelak menjadi tokoh kunci dalam Islamisasi Jawa dan pembentukan Kesultanan Demak.

Strategi dakwah Raden Rahmat memadukan pendekatan budaya dan jaringan kekerabatan. Ia menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri Arya Teja, Bupati Tuban dan cucu dari Arya Lembusura. Pernikahan ini memperkuat kedudukannya di mata masyarakat dan elite lokal. Versi lain menyebutkan ia juga menikah dengan putri dari Ki Bang Kuning, tokoh lokal Kembang Kuning yang kemudian memeluk Islam. Dari pernikahan itu lahirlah Dewi Murtosiyah (istri Sunan Giri) dan Dewi Murtosimah (istri Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak).

Masa tinggal Sunan Ampel di Jawa bertepatan dengan titik genting sejarah: Majapahit mulai surut, dan Demak mulai bangkit sebagai kekuatan baru. Ampel menjadi jembatan transisi, baik secara religius maupun politis. Murid-muridnya—khususnya Raden Patah—mendirikan Kesultanan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Sunan Giri, murid lainnya, kelak memimpin institusi Giri Kedaton yang menjadi pusat keilmuan dan fatwa Islam di wilayah pesisir utara Jawa.

Di balik figur karismatiknya, Sunan Ampel juga mewariskan sistem dakwah yang sangat tahan lama: pesantren, silsilah keilmuan (sanad), hingga metode asimilasi budaya lokal. Ia merintis apa yang bisa disebut sebagai "Islam kultural", sebuah pendekatan damai yang memadukan keyakinan baru dengan nilai-nilai lokal.

Makamnya di kawasan Ampel, Surabaya, hingga kini menjadi pusat ziarah umat Islam dari berbagai penjuru Nusantara. Ia tidak hanya dikenang sebagai tokoh agama, melainkan sebagai perancang sosial yang berhasil mentransformasikan struktur masyarakat melalui pendidikan, perkawinan politik, dan dakwah kultural.

Dalam jejaknya, Raden Rahmat alias Sunan Ampel memperlihatkan bahwa penyebaran agama bukan sekadar soal doktrin, tetapi tentang memahami medan sosial, membangun hubungan, dan menciptakan sistem yang mampu bertahan lintas zaman. Dari Champa yang runtuh hingga Majapahit yang memudar, ia menjelma sebagai tokoh kunci peralihan zaman dan pembentuk wajah Islam Nusantara yang khas: damai, terstruktur, dan berakar kuat dalam kebudayaan lokal.

 

*artikel ini merupakan hasil penelusuran dan rangkuman berbagai sumber


Topik

Ruang Sastra Sunan Ampel Champa tradisi



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Magetan Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Nurlayla Ratri