Akal, Amanah Ilahi yang Disebut Puluhan Kali dalam Al-Quran

Editor

Yunan Helmy

10 - Nov - 2025, 07:34

Ilustrasi akal manusia yang memang disebutkan puluhan kali dalam Al-Quran. (ist)

JATIMTIMES - Islam menempatkan akal bukan sekadar alat berpikir, melainkan anugerah tertinggi yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. 

Kata akal sendiri berasal dari bahasa Arab ‘aql, yang bermakna kecerdasan. Dalam Al-Quran, istilah ini muncul lebih dari lima puluh kali, sebuah penegasan bahwa nalar merupakan bagian penting dari kemuliaan manusia sebagai khalifah di Bumi.

Baca Juga : Kumpulan Ucapan Hari Pahlawan 10 November 2025: Penuh Makna, Lucu, hingga Menginspirasi

Akal adalah bekal ilahi yang membedakan manusia dengan makhluk lain seperti hewan, yang hidup hanya mengikuti naluri dan hawa nafsu. Dengan akal, manusia mampu menimbang, memahami, dan memilih jalan kebenaran. 

Nabi Muhammad SAW bahkan menegaskan keutamaan akal dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi: “Tidak ada yang lebih mulia dari makhluk-makhluk ciptaan Allah selain akal.”

Pernyataan ini menegaskan bahwa Islam bukanlah agama yang menolak rasionalitas. Justru, nalar yang sehat menjadi jembatan menuju takwa. Dalam Al-Quran, terdapat lebih dari 700 ayat yang mengajak manusia untuk merenungi ciptaan Allah, dari langit, Bumi, hingga kehidupan itu sendiri. Perenungan itu tentu mustahil dilakukan tanpa daya pikir yang tajam dan hati yang jernih.

Kelebihan manusia, sebagaimana dijelaskan dalam QS Al-Isra’ ayat 70, terletak pada kemampuannya untuk berpikir: “Dan Kami lebihkan mereka (manusia) di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.”

Para ulama menafsirkan bahwa kelebihan itu adalah akal, yang menjadikan manusia mampu menimbang antara benar dan salah. Namun, ketika akal dikuasai oleh hawa nafsu dan kesombongan, derajat manusia bisa jatuh lebih rendah dibandingkan hewan. 

Surah Al-A’raf ayat 179 menggambarkan hal itu dengan tegas: orang-orang yang enggan menggunakan hati, mata, dan telinga untuk menerima kebenaran diibaratkan seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi.

Akal bukan hanya simbol kecerdasan, tetapi juga prasyarat dalam beragama. Seorang muslim dapat mengamalkan syariat karena akalnya berfungsi. Bagi mereka yang kehilangan nalar sehat, seperti anak kecil atau orang yang terganggu jiwanya, beban syariat tidak berlaku atasnya. 

Nabi SAW bersabda: “Pena diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan: orang yang tidur hingga ia bangun; anak kecil sampai ia bermimpi (baligh); dan orang gila sampai ia kembali sadar (berakal).”

Baca Juga : 2026, FKIK UIN Malang Siap Buka Program Magister Ilmu Biomedik

Akal yang digunakan untuk mendekat kepada Allah menjadi jalan hidayah. Rasulullah SAW mengingatkan, “Hendaknya engkau mendekatkan dirimu kepada-Nya dengan akalmu.”

Sebaliknya, akal tanpa bimbingan agama dapat tersesat oleh kesombongan intelektual, sementara beragama tanpa akal hanya akan melahirkan fanatisme buta yang mencoreng nilai-nilai Islam itu sendiri.

Dalam Islam, sumber kebenaran tetap berpijak pada Al-Quran dan sunah Rasulullah SAW. Akal berfungsi untuk memahami, bukan menggantikan keduanya. Karena itu, ijtihad, upaya rasional untuk menggali hukum dari sumber syariat, menjadi bentuk tertinggi penggunaan akal dalam beragama.

Di sisi lain, taklid atau mengikuti tanpa dasar pengetahuan hanyalah jalan bagi mereka yang belum memahami kedalaman ilmu.

Pada akhirnya, kehormatan manusia terletak pada keseimbangan antara nalar dan iman. Akal adalah pelita yang menerangi perjalanan spiritual, sementara iman adalah arah yang memastikan cahaya itu tidak menyesatkan. Dalam harmoni keduanya, manusia menemukan jati diri sejatinya sebagai khalifah yang berpikir, beriman, dan beradab.